Rabu, 30 Maret 2011

Tujuan Bank Syariah

Bank syariah mempunyai beberapa tujuan, di antaranya sebagai berikut (Sudarsono, 2005: 43):
  1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk ber-muamalat secara Islam, agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha yang mengandung unsure gharar (tipuan), da juga dapat menimbulkan dampak negative terhadap kehidupan ekonomi rakyat.
  2. Untuk menciptakan suatu keadilan dalam bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.
  3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha.
  4. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan yang pada umumnya merupakan program utama dari Negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah di dalam menetaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjolkan sifat kebersamaan.
  5. Untuk menjaga stabilitas ekonomi moneter. Dengan aktivitasnya bank syariah mampu menghindari pemanasan ekonomi akibat inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat.
  6. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non-Islam.

Minggu, 27 Maret 2011

Prinsip-prinsip Dasar Perbankan Syariah



Batasan-batasan bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasar pada syariat Islam, menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah adalah sebagai berikut ( Antonio, 2001: 85 ):
a.       Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)
Al-Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. (Antonio, 2001: 85)
Secara umum terdapat dua jenis al-wadiah, yaitu (Muhammad, 2005: 88):
1)      Wadiah Yad Al-Amanah
Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh untuk dimanfaatkan dan digunakan oleh sipenerima titipan, penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya. Sebagai konpensasi penerima titipan diperkenakan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.(Antonio, 2001: 148)
2)      Wadiah Yad adh-Dhamanah
Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh si penerima titipan. Karena boleh dimanfaatkan yang jelas akan medatangkan manfaat atau keuntungan, sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip. Produk yang sesuai dengan pada akad ini adalah giro dan tabungan. Karena pada dasarnya adalah titipan maka si penitip tidak berhak untuk mengambil manfaat dari titipan tersebut, akan tetapi sebagai imbalan maka si penerima titipan memberikan bonus sebagai tanda terima kasih. Dan pemberian bonus tersebut berapa jumlahnya merupakan kewenangan manajemen bank syariah karena pada prinsipnya ini adalah titipan.
<!-- more -->
b.      Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah:
1)      Mudharabah
Al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib), dan sipemilik modal tidak ikut campur dalam pengelolaan usaha. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian ini diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Akad mudharabah secara umum terbagi menjadi dua jenis:
a)      Mudharabah Muthlaqah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Tidak ada batasan bagi mudharib dalam menggunakan dana tersebut.
b)      Mudharabah Muqayyadah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib dimana shahibul maal memberikan batasan kepada mudharib mengenai tempat, cara, dan obyek investasi.
2)      Musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dan tenaga dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Ada dua jenis Musyarakah (Antonio, 2001: 91):
a)      Musyarakah pemilikan
Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih.
b)      Musyarakah akad
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.
c.       Prinsip Jual Beli (Al-Tijarah)
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin). Implikasinya berupa:
1)      Al Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga asal perolehan dengan tambahan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
2)      Bai’ As salam
Bai’ As-salam adalah akad jual beli barang pesanan dengan penangguhan pengiriman oleh penjual dan pelunasannya dilakukan segera oleh pembeli (bayar dimuka) sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai syarat-syarat tertentu.
Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam paralel.
3)      Bai’ Al-Istishna
Istishna’ adalah akad jual beli antara pembeli dan pembuat barang. Cara pembayarannya dapat berupa pembayaran dimuka, cicilan, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang meliputi: jenis, spesifikasi teknis, kualitas, dan kuantitasnya.
Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna maka hal ini disebut istishna paralel.
d.      Prinsip sewa (Al-ijarah)
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri (Antonio, 2001: 117).
Al-ijarah terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah, sewa murni. (2) ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (sewa yang diikuti dengan pemindahan kepemilikan).
e.       Prinsip Jasa
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain:
1)      Al-Wakalah
Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandate (Antonio, 2001: 120). Nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer.
2)      Al-Kafalah
Jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam kata lain yaitu mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. (Antonio, 2001: 123)
3)      Al-Hawalah
Adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. (Antonio, 2001: 124)
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada Factoring (anjak piutang), Post-dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
4)      Ar-Rahn
Adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.(Antonio, 2001: 128)
5)      Al-Qard
Al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan shadaqah.

Perbedaan Bank Syariah Dengan Bank Konvensional


Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Menurut Antonio (2001: 29) antara lain :
a.       Akad dan Aspek Legalitas
Akad yang dilakukan dalam bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Nasabah seringkali berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.
Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad.
b.      Lembaga Penyelesai Sengketa
Penyelesaian perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabah pada perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Kedua belah pihak pada perbankan syariah tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah.
Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
c.       Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
d.      Bisnis dan Usaha yang Dibiayai
Bisnis dan usaha yang dilaksanakan bank syariah, tidak terlepas dari kriteria syariah. Hal tersebut menyebabkan bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang mengandung unsur-unsur yang diharamkan. Terdapat sejumlah batasan dalam hal pembiayaan. Tidak semua proyek atau objek pembiayaan dapat didanai melalui dana bank syariah, namun harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariah.
e.       Lingkungan dan Budaya Kerja
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sesuai dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif muslim yang baik, selain itu karyawan bank syariah harus profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work dimana informasi merata diseluruh fungsional organisasi (tabligh). Dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
Secara ringkas perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel: 2.1
Perbedaan Bank Syariah Dan Bank Konvensional
BANK SYARIAH
BANK KONVENSIONAL
Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
Investasi yang halal dan haram
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa.
Memakai perangkat bunga.
Profit dan falah oriented
Profit Oriented
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitur-debitur.
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah.
Tidak terdapat dewan sejenis.
Sumber : Antonio, 2001: 34

Filosofi perbankan syariah

Perbankan syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah, dimana ekonomi syariah merupakan bagian dari muamalat (hubungan antara manusia dengan manusia). Oleh karena itu, perbankan syariah tidak bisa dilepaskan dari al Qur`an dan as sunnah sebagai sumber hukum Islam. Perbankan syariah juga tidak dapat dilepaskan dari paradigma ekonomi syariah.
Berikut beberapa paradigma ekonomi syariah:
  1. Tauhid. Dalam pandangan Islam, salah satu misi manusia diciptakan adalah untuk menghambakan diri kepada Allah SWT: ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (51:56). Pengambaan diri ini merupakan realisasi tauhid seorang hamba kepada Pencipta-Nya. Konsekuensinya, segenap aktivitas ekonomi dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
  2. Allah SWT sebagai pemilik harta yang hakiki. Prinsip ekonomi syariah memandang bahwa Allah SWT adalah pemilik hakiki dari harta. ” Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…” (2:284). Manusia hanya mendapatkan titipan harta dari-Nya, sehingga cara mendapatkan dan membelanjakan harta juga harus sesuai dengan aturan dari pemilik hakikinya, yaitu Allah SWT.
  3. Visi global dan jangka panjang. Ekonomi syariah mengajarkan manusia untuk bervisi jauh ke depan dan memikirkan alam secara keseluruhan. Ajaran Islam menganjurkan ummatnya untuk mengejar akhirat yang merupakan kehidupan jangka panjang, tanpa melupakan dunia: ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (28: 77). Risalah Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW pun mengandung rahmat bagi alam semesta: ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (23:107). Dengan demikian dalam dimensi waktu, ekonomi syariah mempertimbangkan dampak jangka panjang, bahkan hingga kehidupan setelah dunia (akhirat). Sedangkan dalam dimensi wilayah dan cakupan, manfaat dari ekonomi syariah harus dirasakan bukan hanya oleh manusia, melainkan alam semesta.
  4. Keadilan. Allah SWT telah memerintahkan berbuat adil: ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (4: 48). Bahkan, kebencian seseorang terhadap suatu kaum tidak boleh dibiarkan sehingga menjadikan orang tersebut menjadi tidak adil: ”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (5:8).
  5. Akhlaq mulia. Islam menganjurkan penerapan akhlaq mulia bagi setiap manusia. bahkan Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Malik). Termasuk saat mereka beraktivitas dalam ekonomi. Akhlaq mulia semisal ramah, suka menolong, rendah hati, amanah, jujur sangat menopang aktivitas ekonomi tetap sehat. Contoh terbaik dalam akhlaq adalah Muhammad SAW, sehingga Allah SWT memuji beliau: ”Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (68:4). Sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad sangat dipercaya oleh kaumnya sehingga diberi gelar ’al Amin’ (yang terpercaya). Hasilnya, beliau menjadi pengusaha yang sukses.
  6. Persaudaraan. Islam memandang bahwa setiap orang beriman adalah bersaudara: ”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara..” (49:10). Konsep persaudaraan mengajarkan agar orang beriman bersikap egaliter, peduli terhadap sesama dan saling tolong menolong. Islam juga mengajarkan agar perbedaan suku dan bangsa bukanlah untuk dijadikan sebagai pertentangan, melainkan sebagai sarana untuk saling mengenal dan memahami: ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (49:13)

Pengertian Bank Syariah

Pada dasarnya Bank Syari’ah itu tidak jauh berbeda dengan pengertian bank pada umumnya. Perbedaan di antara keduanya hanya terletak pada prinsip operasional yang digunakannya. Jika bank Syari’ah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil sedangkan bank konvensional berdasarkan prinsip bunga.
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank syariah juga dapat diartikan sebagai lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Bank Syari’ah adalah (1) Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, atau bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan syari’ah Al Quran dan Hadits. (2) Bank yang beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat  secara Islam. (Muhammad, 2005: 1)
Bank syariah adalah bank yang kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip syariah yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Al Quran dan Hadits.

Sejarah Bank Syariah

Pada dasarnya perbankan syariah telah tumbuh dari zaman Nabi Muhammad SAW melihat bahwa agama Islam merupakan agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari segi ibadah hingga muamalah, akan tetapi ketika zaman Nabi belum ada institusi yang di namakan bank, tetapi ajaran Islam sudah memberikan prinsip-prinsip dan filosofi dasar yang dijadikan pedoman dalam aktifitas perekonomian.
Konsep yang diterapkan oleh perbankan tidaklah asing bagi umat islam ketika masa Nabi Muhammad SAW, melihat bahwa perbankan melaksanakan fungsinya sebagai penerima simpanan uang, meminjamkan uang untuk bisnis, serta memberikan jasa pengiriman uang.
Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meninjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah.
Pada masa kini upaya awal penerapan system profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr. (Antonio, 2001: 18)
Rintisan pendirian perbankan syariah mulai terwujud di Mesir pada decade 1960-an yang beroprasi sebagai rural-social bank di sepanjang delta sungai Nil. Lembaga Mit Ghamr Bank yang di bina oleh Prof. Dr. Ahmad Najjar hanya beroprasi di pedesaan Mesir dan bersekala kecil, namun sekala kecil tersebut ternyata mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan ekonomi islam.
Pada sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara organisai konferensi Islam di Karachi, Pakistan pada bulan desember 1970, mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk perdagangan dan pembangunan (Internasional Islamic Bank Of Trade and Development) dan proposal pendirian Bank Islam (Federation of Islamic Bank) dan di kaji oleh 18 negara Islam.
Pada tahun 1975 sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah, Menyetujui perencanaan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDM) yang telah direncanakan sebelumnya atas usulan tahun 1973 agar OKI mempunyai bidang khusus untuk mangani masalah ekonomi dan keuangan. Dan semua Negara OKI masuk menjadi anggota IDB.
Pada awal beroperasinya IDB banyak mengalami hambatan karena masalah politis yang terjadi. Meskipun demikian IDB tidak menjadi lemah akan tetapi IDB mengalami peningkatan anggota. IDB juga membantu mendirikan bank-bank Islam di berbagai Negara untuk pengembangan system ekonomi syariah. Pada awal tahun 1980-an bank-bank Islam bermunculan di Negara-negara Islam seperti Mesir, Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki. (Antonio, 2001: 18)
Di Indonesia sendiri perbankan syariah dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim.
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang no.10 Tahun 1998 serta pembaharuan UU no.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah.